Minggu, Juli 27, 2025

MAU JADI PENULIS SILAHKAN BERGABUNG

Trend Minggu ini

Pilihan Penulis

Penolakan Keras Amandemen IHR 2025: Masyarakat Peduli Kedaulatan Bangsa Desak Pemerintah Bertindak

redaksi.co, Jakarta – Di tengah kekhawatiran terhadap potensi hilangnya kedaulatan bangsa, tokoh nasional DR. dr. Siti Fadilah Supari, SpJP(K) bersama Purnawirawan Komjen Dharma Pongrekun menyuarakan perlawanan tegas terhadap dominasi World Health Organization (WHO) melalui Amandemen International Health Regulation (IHR) 2025.

Bertempat di Hotel D’Arcici, Jl. Kramat Raya No.1, Senen, Jakarta Pusat, keduanya memimpin konferensi pers yang diselenggarakan oleh Masyarakat Peduli Kedaulatan Bangsa dan Negara, tepat di hari terakhir batas penolakan amandemen tersebut. Mereka menegaskan, bila Indonesia tidak secara resmi menolak hari ini, maka amandemen IHR akan otomatis berlaku mulai esok, Minggu, 20 Juli 2025 tanpa persetujuan rakyat maupun parlemen.

“Amandemen ini bukan sekadar teknis kesehatan. Ini adalah bentuk kolonialisme baru yang menjajah lewat kebijakan global. Pemerintah harus segera menolak secara resmi sebelum kedaulatan kita lenyap,” ujar dr. Siti Fadilah Supari.

Latar Belakang: IHR 2025 dan Bahaya Kedaulatan
IHR adalah protokol global yang selama ini dijadikan acuan dalam menghadapi krisis kesehatan oleh WHO. Namun, setelah disahkan dalam World Health Assembly ke-77 pada 1 Juni 2024, amandemen IHR 2025 menimbulkan kekhawatiran serius. Banyak pasal yang dinilai mengancam kedaulatan negara anggota, termasuk Indonesia.

“Negara besar seperti Amerika Serikat dan Rusia telah terang-terangan menolak. Bahkan AS menarik diri dari WHO karena menilai kebijakannya bertentangan dengan konstitusi mereka,” ujar Komjen (Purn) Dharma Pongrekun.

10 Alasan Penolakan Amandemen IHR 2025
Masyarakat Peduli Kedaulatan Bangsa dan Negara menguraikan sepuluh poin utama sebagai dasar penolakan:
1. Kedaulatan Diambil Alih WHO
Penetapan status darurat dan pandemi akan ditentukan sepihak oleh Direktur Jenderal WHO, melewati otoritas negara (Pasal 1, 12, 49).
2. Definisi Pandemi Dimanipulasi
Istilah pandemi disamakan dengan kejadian luar biasa (KLB) tanpa dasar epidemiologis yang ketat (Pasal 1), membuka celah penyalahgunaan wewenang.
3. Beban Finansial Sepihak
Pasal 44 mengharuskan negara membiayai penanganan pandemi tanpa batasan jelas dan tanpa audit independen.
4. WHO Tak Bisa Diadili
Dalam Pasal 44bis, WHO tidak diwajibkan transparan dan bebas dari pertanggungjawaban jika terjadi kesalahan.
5. Prosedur Pengesahan Cacat Hukum
Draft amandemen tidak diajukan minimal empat bulan sebelum pengesahan (Pasal 55.2), melanggar prosedur hukum internasional.
6. Pelanggaran HAM
Karantina paksa bagi orang sehat (Pasal 27) dan vaksinasi wajib bagi pelancong (Pasal 31.2) dianggap melanggar hak asasi dan konstitusi.
7. Campur Tangan Legislasi Nasional
Pasal 4 memaksa negara menyesuaikan undang-undang dengan standar WHO, seperti terlihat dalam Pasal 446 Omnibus Law Kesehatan.
8. Monopoli Produk Kesehatan
Pasal 15–18 mewajibkan sistem pre-qualifikasi produk, membuka jalan monopoli vaksin dan obat oleh korporasi global.
9. Intervensi dalam Transportasi
Pasal 24 mewajibkan operator transportasi menyemprotkan bahan kimia tertentu kepada penumpang tanpa persetujuan.
10. Sistem Supranasional yang Tidak Demokratis
WHO dinilai menjalankan pengambilan keputusan secara elitis, tidak transparan, dan tak melibatkan negara-negara berkembang secara adil.

“Kami tidak membenci WHO, tapi kami menolak ketidakadilan yang membuat negara ini tunduk tanpa suara. Indonesia harus berdaulat dalam mengambil kebijakan kesehatan sendiri,” ujar dr. Siti.

Seruan kepada Pemerintah Indonesia
Dalam kesempatan ini, Masyarakat Peduli Kedaulatan Bangsa menyerukan:
• Agar Pemerintah RI segera mengirimkan surat resmi penolakan amandemen IHR kepada WHO sebelum tenggat waktu berakhir.
• Melibatkan seluruh elemen bangsa akademisi, pakar hukum, organisasi profesi, dan masyarakat sipil dalam merumuskan kebijakan kesehatan nasional.
• Menolak segala bentuk tekanan internasional dan menjaga konstitusi serta kedaulatan negara secara penuh.

“Kita tak ingin dijajah diam-diam melalui pena dan regulasi global. Kita ingin Indonesia merdeka sepenuhnya, bermartabat, dan berdiri tegak sebagai bangsa yang berdaulat,” ujar Komjen Dharma Pongrekun.

Popular Articles

Berita Terkait