Ketapang, Kalbar – 15 Juni 2025 | Proyek pembangunan Jembatan Rangka Baja di Kecamatan Jelai Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, yang bersumber dari APBD dengan nilai fantastis sebesar Rp9.028.217.000,00, kini terbengkalai total dan menjadi sorotan publik. Berdasarkan pantauan langsung dan informasi di lapangan, kondisi proyek sangat memprihatinkan—rangka besi berkarat, sebagian reruntuhan berlumut, dan tidak menunjukkan aktivitas pekerjaan sama sekali sejak Desember 2024.
Proyek tersebut ditangani oleh kontraktor pelaksana CV. “AP”, dan ajaibnya telah mengalami tiga kali addendum kontrak. Namun, menurut Pengamat Kebijakan Publik, Dr. Herman Hofi Munawar, SH, fakta tersebut justru mengindikasikan adanya dugaan kuat penyimpangan dan perbuatan melawan hukum.
“Secara normatif, addendum kontrak boleh dilakukan dalam proyek pemerintah. Hal ini diatur dalam Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Namun, addendum sah hanya jika didasarkan pada alasan teknis, terjadi force majeure, atau perubahan kebijakan yang didukung dengan dokumen resmi. Bila tidak memenuhi unsur itu, maka addendum bisa dikategorikan fiktif,” ujar Dr. Herman Hofi Munawar, SH.
Dalam konteks proyek jembatan ini, Dr. Herman menilai indikasi penyalahgunaan kewenangan sangat kuat. Ia menekankan bahwa ketiga addendum yang dilakukan patut diduga tidak sah secara hukum, karena justru terjadi dalam situasi proyek yang justru stagnan dan tidak menunjukkan progres.
“Ini bukan sekadar kelalaian, tapi bisa masuk ke ranah pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Apalagi bila terbukti adanya manipulasi dokumen, mark-up anggaran, atau penggelapan dana melalui addendum fiktif. Aparat penegak hukum wajib mengusutnya hingga tuntas,” tegas Herman.
Kasus ini telah menjadi atensi publik karena hingga kini belum ada perkembangan berarti dari sisi penegakan hukum. Padahal, Direktorat Kriminal Khusus (Krimsus) Polda Kalbar disebut telah menangani perkara ini. Masyarakat pun mempertanyakan keseriusan aparat dalam mengungkap aktor-aktor utama di balik proyek siluman ini.
Proyek ini bahkan berada di titik strategis, dekat dengan kantor Camat, Mapolsek, dan Koramil Jelai Hulu. Namun, kondisi jembatan justru dibiarkan mati suri tanpa kejelasan. Diduga kuat telah terjadi kerugian negara mencapai puluhan miliar rupiah, sementara akses masyarakat antar desa terputus dan aktivitas sosial-ekonomi warga terganggu parah.
Sejumlah warga mengaku anak-anak terpaksa menyeberangi sungai dengan risiko tenggelam karena ketiadaan jembatan penghubung. Hal ini menjadi tragedi kemanusiaan yang tidak bisa ditoleransi lagi. Uang rakyat yang semestinya membangun kesejahteraan justru lenyap tanpa pertanggungjawaban.
Dr. Herman menegaskan bahwa penegakan hukum dalam kasus ini sangat penting, bukan hanya untuk memulihkan kerugian negara, tetapi juga sebagai bentuk efek jera bagi pihak-pihak yang mencoba bermain-main dalam proyek-proyek pemerintah.
“Polda Kalbar harus menyampaikan perkembangan resmi kepada publik agar ada keyakinan bahwa persoalan ini tidak dipetieskan. Proyek mangkrak yang merugikan masyarakat luas seperti ini harus ditangani secara profesional dan transparan,” tegasnya.
Masyarakat kini menuntut penangkapan terhadap para pelaku, baik langsung maupun tidak langsung (yang turut serta), serta pengembalian dana rakyat. Kasus proyek jembatan Jelai Hulu ini telah menjadi simbol kegagalan manajemen proyek dan lemahnya pengawasan birokrasi yang harus segera ditindak.
Sumber : Dr. Herman Hofi Munawar, SH.
Red/Danil.A