Viral ! PUPR Meranti akui pengerjaan rehab kantor Bupati sebelum kontrak dilakukan

0
35

Viral ! PUPR Meranti akui pengerjaan rehab kantor Bupati sebelum kontrak dilakukan

Redaksi.co : Berbagai temuan lapangan dan hasil audit resmi BPK RI mengindikasikan bahwa praktik pelanggaran terhadap aturan pengadaan barang/jasa serta pengelolaan anggaran di kabupaten Meranti diduga terjadi secara sistematis,terstruktur dan masif ” Kami tidak ada maksud lain, hanya ingin membangun Meranti. Kantor Bupati sudah tidak bagus dan perlu diperbaiki agar saat 17 Agustus bisa dipakai dengan layak ” ujar Feni kabid cipta karya PUPR Meranti,20 juni 2025.

Ia juga menambahkan bahwa hal itu dilakukan untuk kemajuan  kabupaten meranti semata ” Tujuan kami tulus untuk kemajuan daerah. Mari kita bergandengan tangan bersama membangun Meranti ke arah yang lebih baik ” tambahnya.

Selama tiga tahun terakhir, dugaan pelanggaran hukum di tubuh Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Kepulauan Meranti tampak semakin menunjukkan pola yang berulang dan disengaja.

Salah satu pola utama adalah pelaksanaan kegiatan fisik sebelum kontrak resmi ditandatangani. Ini merupakan pelanggaran serius terhadap Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Kabid Cipta Karya Feni Utami ST, MH, ketika dihubungi tidak membantah bahwa adanya pekerjaan yang dilakukan sebelum kontrak dilakukan. Ia menyebut hal itu dilakukan karena mengejar momen 17 Agustus, di mana kondisi Kantor Bupati saat itu dinilai sudah tidak representatif.

Temuan BPK-RI dalam LHP Tahun Anggaran 2023*

Hasil Pemeriksaan BPK menyebutkan :

A). Hasil keluaran (output) tidak sesuai dengan kondisi dengan real di lapangan.

B). Volume atau kuantitas pekerjaan telah dihitung dan diketahui secara jelas, kenapa tidak dilakukan kegiatan secara kontraktual agar dapat meminimalisir resiko pekerjaan yang tidak selesai.

C). Dalam pelaksanaan Swakelola tipe I ini, Dinas PUPR dalam hal ini Bidang Cipta Karya tidak menggunakan sumber daya sendiri dalam pelaksanaan pekerjaan untuk Penyediaan bahan material, upah pekerja dan pengangkutan material serta mobilisasi alat melainkan dengan pihak ketiga/penyedia.

D). Dalam uji petik BPK RI ditemukan adanya pihak ketiga yang berhutang kepada toko dengan alasan hal tersebut dilakukan Dinas PUPR karena tidak memiliki akses langsung sehingga akan kesulitan dalam menjamin ketersediaan material.

E). Dalam pekerjaan Swakelola tipe I Tim penyelenggara Swakelola harus memiliki sumber daya yang cukup dan kemampuan teknis untuk melaksanakan Swakelola. Namun dilapangan berdasarkan keterangan PPK/PPTK ternyata tim Swakelola Dinas PUPR hanya melakukan pekerjaan admistrasi dan pengawasan. Sedangkan pelaksanaannya baik itu material, alat, dan tenaga kerja dilakukan langsung oleh penyedia.

F). Mekanisme pembayaran pekerjaan dilakukan secara tunai. Ternyata dari seluruh pelaksanaan Swakelola terhadap pekerjaan gedung dan bangunan pembayarannya dilakukan dengan mekanisme UP, GU dan TU. Dalam hal ini seluruh pencairannya dilakukan secara tunai (Cash) kepada penyedia jasa oleh Dinas PUPR dalam hal ini KPA/PPTK nya.

Dari Hasil UJI PETIK BPK RI tersebut sangat tidak sesuai dan bertentangan dengan aturan dan ketentuan yang berlaku, diantaranya :

1). Perpres Nomor 16 Tahun 2018 yang sudah diubah menjadi Perpres Nomor 12 tahun 2021 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah pada pasal 6 huruf e.

2). Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) nomor 3 tahun 2021 tentang pedoman Swakelola pada point 1 sub point 1.3 dan Point 1 sub point 1.4 juga point 3 sub point 3.1.5.

Terkait kegiatan Swakelola di Dinas PUPR sesuai hasil review dokumen pekerjaan Swakelola di Dinas PUPR Kepulauan Meranti dilaksanakan dengan metode Swakelola Tipe I pada tahun 2023 lalu, banyak mengundang tanya apalagi ketika adanya beberapa kegiatan yang dilakukan kelebihan bayar.

Temuan BPK dalam LHP 2024

Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK mengenai kepatuhan pengelolaan keuangan daerah tahun 2024, ditemukan sejumlah persoalan signifikan, antara lain:

1. Adanya pembatasan pemeriksaan sehingga tidak diperoleh bukti cukup mengenai nilai utang belanja (tunda bayar) yang belum diselesaikan.

Salah satu diantaranya study kasus tersebut saat BPK meminta akun PPK LPSE agar dapat di akses dalam proses pemeriksaan audit, PPK LPSE terkesan mempersulit atau ada upaya merintangi BPK dalam proses audit yang pada akhirnya melalui dinamika diberikan juga. Jika benar, hal ini melanggar Pasal 24 ayat (1) dalam UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

2. Pertanggungjawaban Belanja Barang dan Jasa melalui mekanisme UP/GU tidak sesuai ketentuan. Banyaknya ditemukan SPJ terkait pertanggungjawaban pelaksanaan APBD tahun 2024 dalam pengelolaan keuangan daerah khususnya pencairan dana UP dan GU ditemukan ketidaksesuaian dengan aturan dan ketentuan yang berlaku dan terjadinya kelebihan bayar.

3. Permasalahan ketidaksesuaian kualitas dan volume pekerjaan, ketidaktepatan penyesuaian harga satuan, dan ketidaksesuaian spesifikasi pekerjaan dalam pelaksanaan Belanja Barang dan Jasa serta Belanja Modal Jalan, Irigasi, dan Jaringan, yang mengakibatkan adanya kelebihan pembayaran. Hal ini tidak sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2021 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Kelebihan bayar kembali ditemukan, bahkan mencapai miliaran rupiah.

Salah satu proyek yang mencolok adalah rehabilitasi berat Kantor Bupati Kepulauan Meranti, yang dilaporkan belum rampung meskipun anggaran telah terserap besar. Fajar Triasmoko menyatakan proyek tersebut merupakan kegiatan satu tahun anggaran, namun faktanya pengerjaan masih berlanjut hingga tahun berikutnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar terkait manajemen proyek dan perencanaan anggaran.

Dugaan Bocornya Harga Perkiraan Sendiri (HPS)

Dugaan pelanggaran juga terlihat pada penetapan harga dalam e-Katalog yang identik dengan HPS. Ini memunculkan pertanyaan: apakah HPS telah bocor ke penyedia atau justru telah dikondisikan sejak awal? Praktik ini jika terbukti, membuka celah tindak pidana korupsi dalam proses pengadaan.

Gratifikasi dan Pengakuan dalam Persidangan

Berdasarkan fakta persidangan sebagaimana yang diungkap dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut KPK dalam persidangan kasus Korupsi dan Gratifikasi terdakwa Muhammad Adil tahun 2022, Dinas PUPR Kepulauan Meranti adanya melakukan setoran (gratifikasi) sebesar Rp 1,8 miliar yang dilakukan oleh pejabatnya diantaranya Fajar Triasmoko.

Selain itu, Fajar Triasmoko Kadis PUPR Kepulauan Meranti sesuai fakta persidangan lainnya pernah mengungkapkan kesaksian dihadapan majlis hakim bahwa ia pernah memberikan sejumlah uang gratifikasi kepada M. Fahmi Aressa mantan Auditor Badan Pemeriksaan (BPK) Riau, secara langsung bertemu dengan Fahmi di basement Mall Pekanbaru dan menyerahkan uang tunai sebesar Rp. 150 juta pada akhir Februari 2023. Seminggu sebelumnya Sugeng Widodo, Kabid Sumber Daya Air PUPR juga telah menyerahkan uang tunai sejumlah Rp. 150 juta kepada Fahmi Aressa di Hotel Red 9 Selatpanjang pada pertengahan Februari 2023.

Pada Desember 2024 yang lalu rumah pribadi Kepala Dinas PUPR di Jalan Sedulur, Banglas Barat, digeledah oleh KPK dalam kaitannya dengan kasus korupsi dan gratifikasi mantan Bupati Haji Adil. Alhasil, beberapa dokumen penting dilaporkan turut diamankan.

Dugaan Monopoli Proyek dan Keterlibatan Pejabat

Investigasi lebih lanjut menemukan bahwa beberapa perusahaan secara konsisten mendapatkan porsi besar proyek di lingkungan PUPR, baik melalui kontrak maupun skema swakelola. Dugaan kuat mengarah pada adanya pejabat internal yang menjadi pemodal atau pemilik terselubung dari perusahaan tersebut. Ini merupakan bentuk konflik kepentingan yang berpotensi menjadi kejahatan jabatan.

Pembiaran oleh Kepala Daerah dan Supremasi Hukum yang Tumpul

Lemahnya pengawasan dan tidak adanya sanksi dari Bupati H. Asmar terhadap pelanggaran yang terus berulang di Dinas PUPR mengindikasikan adanya pembiaran. Publik pun bertanya-tanya: apakah kepala daerah tidak tahu, pura-pura tidak tahu, atau justru turut mengarahkan?

Jika benar terjadi pembiaran, maka kepala daerah dapat dimintai pertanggungjawaban hukum, baik secara administrasi maupun pidana, karena membiarkan kerugian negara terjadi.

Sanksi Hukum dan Kewajiban Lapor

Pejabat yang menyalahgunakan wewenang dapat dijerat Pasal 12B ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, dengan ancaman minimal 4 tahun penjara hingga seumur hidup, serta denda hingga Rp1 miliar. Selain itu, setiap ASN wajib melaporkan dugaan tindak pidana kepada penyidik sesuai Pasal 108 ayat (3) KUHAP. Jika tidak, dapat dijerat Pasal 221 KUHP atau Pasal 21 UU Tipikor karena dianggap menghalangi proses hukum.

Penegakan Hukum: Ujian Nyata bagi BPK, KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan

Situasi ini menjadi ujian nyata bagi lembaga negara. BPK Perwakilan Riau didesak untuk segera melakukan audit investigatif lanjutan. KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian diminta tidak tinggal diam, apalagi jika terbukti ada setoran atau gratifikasi. Jika aparat hukum abai, publik patut bertanya: apakah hukum di Meranti hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas?

Pelanggaran yang dibiarkan tanpa sanksi hanya akan melahirkan impunitas dan kehancuran supremasi hukum. Demi keadilan, transparansi, dan akuntabilitas, sudah saatnya penegakan hukum tidak hanya berhenti di atas kertas