Manusia adalah Spesies Homo Sapiens yang Membunuh Dirinya Sendiri dan Memusnahkan Alam, Kecuali Mereka Yang Sadar dan Berjuang Melawan Hawa Nafsunya”
Raja Empat tentu kiranya republik ini adalah atlas ritual yang diwariskan para pendahulu kita, bumi yang dianugerahi Empat Kerjaan penuh adat istiadat serta beragam tradisi.
Nikmat tuhan yang manakah yang engkau dustakan begitu bunyi ayat dalam al qur’an surah ar-rahman.
Dalam kaidah-kaidah ini tentu syarat makna sosiologisnya dan geografis.
Dari takdir yang telah dititipan kepada manusia dan alam sekitarnya, begitu takjub nan indah, lautan biru terbentang luas ditaburi pulau-pulau kecil dikelilinginya dan itu telah tuhan wujudkan di wilayah Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya.
Sungguh panorama ibarat surga, mereka yang hidup di gurun tandus pasti merindukanya, tetapi hukum geografis telah memutuskan surga nan indah itu ada di wilayah Raja Empat.
Tidak bisa membohongi diri sendiri kalau semua manusia yang berharap keindahan pasti melihatnya sebagai domain primadona alam semesta.
Kembali merujuk pada interpertasi surah Ar-Rahman, apakah kita harus mendustakan nikmat tuhan itu? Kajian ini tentu dikomprasikan dengan hukum kenegaraan kita hari ini yang punya alas pijak.
Secara tertulis dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 sertakan pula Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) UU Nomor 32 Tahun 2009.
merincikan aturan tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan, termasuk pengendalian pencemaran atas kerusakan lingkungan, bisa dikatakan memiliki korelasi sepadan akan tetapi tidak beri untung bagi kaum pemodal (kapitalisme), yang membuatnya harus mendustakan dirinya sendiri atas nikmat yang telah dititipkan.
Sehingga aturan tersebut menjadi pragraf yang lapuk dimakan rupiah.
Industri nikel kini merusak pulau-pulau di Raja Ampat, sontak seruan ini atas nama negara dan negara tentu ada skandal bisnis dan investasi yang sudah menjadi alibi dalam dirinya. Sehingga dengan segala upaya telah ditancapkan, tidak peduli seberapa kuatnya makna sakral ayat-ayat suci.
Benarkah kita masih mengimani agama yang kita anut, sementara kedudukan ayat terlihat tidak berarti dimata penguasa, dan jawabanya tidak terpancar dari mulut pemuka agama.
Padahal berani khotbah didepan jamaahnya, seraya menyebutkan wahai manusia lindungilah alam dan berbuat baik terhadap alam dan seisinya termasuk manusia.
Lantas manusia seperti apa? Apakah manusia yang kini memperkokoh adat dan tradisi yang menyimpan makna sakral hubungan antara tiga dimensi yakni Alam, Manusia dan Tuhan.
Justru manusia yang menjadi dalang dari kepunahan alam dan mereka adalah representasi dari spesies mamalia pengusaha Industri Nikel yang kini menjadi skandal kerusakan ekosistem di pulau Raja Ampat.
Empat Kerajaan
Empat kerajaan yang menyejarah dalam siklus jatuh bangun peradaban dunia ” Moloku Kie Raha”, sebutan untuk empat penguasaan teritorial dan itu masing-masing Kesultanan Jailolo, Ternate, Tidore dan Bacan.
Sejarawan manapun di dunia, ketika menulis perdagagan dan rute pelayaran maritim pastinya menguak tabir rempah-rempah asal Maluku, disitulah tersurat empat kerajaan besar yang hadir berhadapan dengan kelompok penjelajah komoditas termahal yakni cengkeh dan pala, komoditas rempah yang harganya sepadan dengan nikel maupun emas hari ini.
Empat penguasa
kerajaan hingga kini berperan sebagai pelindung adat, tradisi bersamaan dengan manusianya, dan disinilah bentuk tradisi orang-orang adat menemukan jalan hidup dibelantara hutan Halmahera.
Empat Kerajaan setelah era reformasi 1998 berkiblat pada arah konstitusi negara republik Indonesia dan segera mungkin dibentukalah Provinsi Maluku Utara yang kita kenal sekarang.
Alam, Manusia dan Tuhan adalah keutamaan dalam sebuah tradisi yang mulanya diabdikan oleh kerajaan kesultanan Ternate dengan gramatika sastranya yang dikenal dengan “Adat Matoto Agama, Agama Matoto Kitabullah, dan Kitabullah Matoto Allah Ta Ala ( Adat Bersendi Agama, Agama bersendi Kitabullah, Kitabullah bersendi Allah SWT.
Tiga wujud simbol ini sangat dalam dan bobot tauhid yang luar biasa, sepertihalnya kita merepresentasikan Habluminal Alam, Habluminannas, Habluminallah ( Hubungan Manusia dengan Alam, Manusia dengan Manusia, Manusia dengan Tuhan) repsetasi ini ternyata hanya dongeng atau cerita fiksi bagi pemangku kepentingan modal dan bisnis.
Dasarnya Masyarakat Adat Maba Sangaji yang kini disalahkan atas ketidakpahamanya pada hukum negara, tidak pahamnya pada UU Minerba, tragis perlakuan pemerintah tertentu tegas memojokkan mereka, kendatipun yang mereka paham adalah sekedar pengetahuan tradisi lokal dengan cara hidup diatas tanah kelolah mereka sendiri, justru itu adalah habitat alamiah, bahkan mereka menganggap alam adalah ruang batinya.
Jika cermati secara seksama dalam kajian antropolgi, hampir semua yang dari dulu berpegang pada prinsip bahwa alam dan manusia adalah satu kesatuan yang utuh, menjadi komitmen atas mengimani alam sebagai wujud titipan dari sang kuasa, maka jangan serentak membabat habis tanpa perhitungan, beranngkat dari semangat inilah terdorong rasa perjuangan melawan penjajah yang saat itu menguasai Empat Kerajaan untuk memonopoli rempah-rempah.
Kembali lagi pada peristiwa kini, antara hak masyrakat adat dan upaya sebuah kepentingan industri tambang sebagai alibi tonggak pertumbuhan ekonomi, tetapi semakin buta dan membohongi sejarah manusianya, sampai rela menghilangkan fungsi adat dan tradisi kemudian mengorbankan masyarakat atas ketaqwaan pada pihak Industri Pertambangan.
Lantas Nikmat Tuhan Manakah Yang Engkau Dustakan ( QS: Arahman)
Ketaqwaan Ibrahim as kepada Allah SWT pasrah dirinya untuk menyembeli anaknya Ismail as sebagai bukti pengabdian yang sungguh besar, namun hakikat ini kian terbalik dalam tafsiran ekonomi-politik dibawah struktur kekuasaan pemodal ( kapitalis ) sebab para pejuang adat, lingkungan dan ibadah sosial dipasrahkan kepada kekuasaan untuk disembeli hak-haknya.
Jadi bisa diduga Idul Adha sebagai hari raya seremonial momentum bukan kualitas tauhid bagi hamba Allah SWT yang takzim pada perlindungan Air, Udara dan Hutan sebagai pilar keagamaan.
Sepertinya Ismail as dan bapaknya Ibrahim as sekalipun dihidupkan tidak akan berguna, melainkan dituding premanisme, lantaran saat Allah SWT beri ujian keimanan beliau, ditanganya terdapat barang tajam.
Raja Empat dan Empat Kerajaan bukan sebuah pulau tanpa arti dan manusia tanpa makna, akan tetapi keduanya mewarisi kesan sejarah.
Hati-hati sebab penjajahan gaya baru ( neo-kolonialisme ), tidak menggunakan senjata sekedar infiltrasi modal dan regulasi daya hancur lebih dahsyat.
Ini kenyataan, bisa periksa kembali sejarah rempah di kepulauan Halmahera, adakah pihak empat kesultanan atau kerajaan pernah penjarakan, intimidasi, kriminalisasi ke pihak masyarakat adat saat melawan penjajah yang masuk monopoli rempah?
Jikalau tidak kenapa hari ini Masyarakat Adat kian jadi korban penyembelian untuk ujian keimanan pada bisnis dan investasi industri?
Jawabanya, maka nikmat tuhan yang manakah yang engkau dustakan? (*)