Redaksi.co, Jakarta | Upaya memulihkan krisis agraria dan ekologis di Indonesia kembali ditegaskan melalui Lokakarya dan Konsolidasi Nasional bertajuk “Memulihkan Krisis Agraria dan Ekologis Melalui Aksi Bersama Reforma Agraria Kehutanan Sesuai Mandat TAP MPR IX/2001” yang digelar di Artotel Gelora Senayan, Jumat (19/12).
Lokakarya ini menghadirkan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nusron Wahid sebagai pembicara utama, Zulfikar Arse Sadikin S.IP. M.Si (Komisi II DPR), Sugito S.Sos M.H. (Staf Ahli Menteri Desa PDT Bidang Hubungan Lembaga), Julmansyah S.Hut. M.A.P., (Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat Kementerian Kehutanan) dan Iwan Nurdin (Majelis Pakar Konsorsium Perubahan Agraria/ KPA), masyarakat sipil, hingga aktivis tani dan kehutanan serta . Muhammad Khozin M.A.P., (Anggota Tim Panitia Khusus Penyelesaian Konflik Agraria/PKA) yang hadir secara Daring.
Dalam pemaparannya, Nusron Wahid mengutarakan bahwa persoalan agraria di Indonesia tidak bisa dilihat semata dari angka statistik luas lahan atau jumlah konflik, melainkan harus ditempatkan sebagai persoalan keadilan dan hak konstitusional warga negara. Menurutnya, konflik agraria yang berlarut-larut justru menjadi akar dari berbagai krisis lanjutan, termasuk kerusakan lingkungan, ketimpangan ekonomi, dan melemahnya daya dukung alam.
“Jangankan satu hektare, satu meter tanah pun bisa menjadi persoalan serius jika menyangkut hak warga negara. Negara tidak boleh menyederhanakan konflik agraria hanya dengan angka statistik,” ujar Nusron.
Ia mengatakan bahwa percepatan reforma agraria harus dimulai dari pembenahan mendasar, terutama kejelasan peta, penataan batas kawasan, serta sinkronisasi kebijakan lintas sektor. Banyak konflik muncul akibat tumpang tindih antara kawasan hutan, izin usaha, dan lahan yang telah lama dikelola masyarakat, bahkan selama puluhan tahun.
Dalam konteks kehutanan, Nusron menyoroti pentingnya keberanian mengambil keputusan politik yang adil dan berimbang. Kawasan yang secara administratif tercatat sebagai kawasan hutan, namun faktanya telah lama dimanfaatkan masyarakat untuk kepentingan non-kehutanan dan tidak mengganggu ekosistem, perlu dievaluasi secara objektif. Sebaliknya, kawasan dengan fungsi ekologis penting harus dilindungi secara tegas.
Lokakarya ini juga menyoroti mandat TAP MPR IX/2001 sebagai landasan utama reforma agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Nusron menegaskan bahwa reforma agraria bukan sekadar pembagian tanah, tetapi merupakan instrumen untuk memastikan setiap warga negara memiliki akses yang adil terhadap tanah dan sumber kehidupan, sekaligus menekan ketimpangan ekonomi.
“Esensi reforma agraria adalah menjamin kehidupan yang layak bagi rakyat, mengurangi kesenjangan, dan memastikan pembangunan tidak merusak daya dukung lingkungan,” ungkapnya.
Selain itu, Nusron mengungkapkan bahwa pemerintah saat ini bersikap sangat berhati-hati dalam menerbitkan izin baru maupun perpanjangan izin di sektor pertanahan dan kehutanan. Langkah ini diambil untuk memastikan penataan ulang dilakukan secara menyeluruh, sejalan dengan amanat konstitusi bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.







