Pontianak – Pernyataan Sujanto SH yang menyerukan agar publik menghentikan “trial by the press” terhadap Gubernur Kalimantan Barat, Ria Norsan, dianggap sebagai sikap membungkam kebebasan berpendapat. Alih-alih menenangkan suasana, imbauan itu justru melukai hati rakyat yang kecewa atas dugaan keterlibatan pejabat daerah dalam kasus korupsi proyek jalan di Mempawah.
Fakta di lapangan jelas: KPK sedang menelisik proyek bernilai puluhan miliar rupiah yang diduga merugikan negara hingga miliaran Rupiah . Ada Nama Ria Norsan masuk dalam pusaran penyidikan, dan dipanggil sebagai saksi. Publik pun bertanya—mengapa seorang pejabat yang mestinya menjaga amanah malah harus berulang kali hadir di KPK?
Ketika rakyat bersuara, muncul seruan untuk menghentikan kritik. Ini jelas upaya meredam opini publik. Padahal, kebebasan berekspresi adalah hak konstitusional. Membela figur pejabat dengan dalih masih berstatus saksi sama saja mengabaikan luka yang ditimbulkan dugaan korupsi ini bagi rakyat.
Pertanyaan kunci:
Apakah suara rakyat harus dihentikan demi melindungi satu orang pejabat?
Apakah kritik publik lebih berbahaya dibanding kebocoran anggaran puluhan miliar?
Apakah suara keadilan harus dikalahkan oleh suara kuasa?
Bagi masyarakat, dugaan korupsi bukan sekadar kasus hukum, melainkan pengkhianatan atas kepercayaan publik. Rakyat Kalimantan Barat berhak marah, berhak bersuara, dan berhak menuntut transparansi. Justru di tengah sorotan inilah KPK ditantang: beranikah lembaga antirasuah menuntaskan kasus ini tanpa pandang bulu?
Tim : investigasi