Jember, redaksi.co – Pemerintah Desa Kepanjen, Kecamatan Gumukmas, Kabupaten Jember kembali menggelar tradisi sakral Ruwat Desa, sebagai bentuk ikhtiar spiritual dan budaya untuk memohon keselamatan, keharmonisan, dan kesejahteraan seluruh warga. Digelar dengan penuh khidmat, Ruwat Desa tahun ini mengangkat lakon “Semar Mbangun Deso” yang dibawakan oleh dalang kondang Ki Sri Sabdho Kuncoro, seorang maestro pewayangan yang dikenal kuat dalam mengangkat nilai-nilai filosofis dan spiritualitas Jawa (23/07/2025).
Dalam puncak acara, pertunjukan wayang kulit yang berlangsung di pendopo kantor desa kepanjen juga menjadi media penyampai pesan-pesan luhur. Di tengah panggung, gunungan berdiri tegak, bukan sekadar simbol pembuka dan penutup lakon, tetapi sebagai lambang kosmis yang kaya makna bagi masyarakat Jawa. Gunungan merepresentasikan hubungan manusia dengan alam semesta dan Tuhan, sekaligus menjadi penuntun arah spiritual dalam setiap langkah kehidupan.
Sementara makna Gunungan dalam Konteks Ruwat Desa menurut Ki Sabdho Kuncoro, gunungan mengandung simbol-simbol adiluhung yang berkaitan erat dengan nilai-nilai ruwatan:
Lambang Jagad Raya: Gunungan melambangkan keseluruhan alam semesta, baik dunia kasat mata maupun dunia gaib sebagai pengingat bahwa manusia hidup dalam tatanan kosmis yang harus dijaga keseimbangannya.
Simbol Penyucian dan Perlindungan: Dalam tradisi ruwat, gunungan menjadi penanda dimulainya prosesi pembersihan desa dari energi negatif dan ancaman spiritual, sekaligus sebagai benteng perlindungan kolektif.
Filosofi Unsur Kehidupan, Gunungan merepresentasikan unsur-unsur dasar alam: api, air, angin, tanah, dan roh yang menjadi fondasi kehidupan masyarakat desa.
Pohon Hayat dan Naga Pelindung: Ornamen Kalpataru yang dililit naga mencerminkan harapan akan kelimpahan, perlindungan, dan petunjuk kebijaksanaan dari leluhur.
Lanjut Ki asri Sabdho Kuncoro dalam Siklus Kehidupan dan Pembangunan, Lakon Semar Mbangun Deso menggambarkan semangat membangun desa dengan nilai keadilan, welas asih, dan harmoni. Tokoh Semar menjadi representasi rakyat yang arif, sederhana, dan dekat dengan kehendak ilahi.
Ditempat yang sama Kepala Desa Kepanjen, Sukamid, menegaskan bahwa Ruwat Desa bukan sekadar seremoni budaya, tetapi juga bentuk doa kolektif masyarakat kepada Tuhan agar desa dijauhkan dari bencana, diberi kelimpahan rezeki, dan hidup dalam kerukunan.
“Lewat lakon Semar Mbangun Deso, kami ingin menyampaikan bahwa membangun desa tidak hanya soal fisik dan infrastruktur, tetapi juga membangun jiwa, keharmonisan, dan nilai-nilai kebajikan,” ungkap Sukamid.
Tradisi ini menjadi cerminan kearifan lokal yang masih terjaga, di mana spiritualitas, budaya, dan gotong royong menyatu dalam satu tarikan napas. Di tengah prosesi, gunungan berdiri sebagai simbol arah dan pusat kehidupan: menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan.
“Ini bukan sekadar ritual, tetapi pengingat bahwa kita hidup dalam kehendak Tuhan. Kita harus terus menyelaraskan niat, sikap, dan langkah hidup agar selalu dalam lindungannya,” tambah Sukamid.
Dari pantauan redaksi.co sesuai pertunjukan dan prosesi utama, warga mengikuti slametan atau kenduri bersama sebagai wujud syukur atas keselamatan, hasil bumi, dan limpahan rezeki. Makanan dibagikan secara merata sebagai lambang keberkahan yang harus dinikmati bersama, bukan dimonopoli.
Selain pelestarian budaya, Ruwat Desa juga membawa pesan mendalam tentang tanggung jawab sosial, spiritualitas kolektif, dan kesadaran akan hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan, serta hubungan horisontal antarsesama. Di tengah arus modernisasi yang kian deras, tradisi ini membuktikan bahwa kearifan lokal tetap menjadi fondasi moral dan spiritual masyarakat,”imbuhnya.
“Ruwat Desa bukan hanya menjaga warisan, tapi memperkuat keyakinan bahwa keselamatan sejati hanya akan tercapai jika manusia hidup selaras dengan alam, sesama, dan Sang Pencipta,” pungkas Sukamid (Sofyan)