JEMBER,redaksi.co – Gerhana bulan yang terjadi malam ini kembali menghidupkan ingatan akan kearifan leluhur Jawa dalam memaknai gejala alam. Bagi masyarakat Jawa tempo dulu, gerhana tidak hanya dipandang sebagai peristiwa astronomis, melainkan tanda kosmik yang sarat pitutur atau perilaku tentang kehidupan (7/9/2025).
Dalam tradisi Jawa, gerhana bulan bukanlah musibah, melainkan pangeling atau pengingat dari Bopo Angkoso, Sang Penguasa Jagat Raya. Fenomena ini dianggap sebagai pitutur agar manusia senantiasa eling lan waspada dalam perjalanan dan persoalan hidup.
Secara turun-temurun, leluhur Jawa membedakan makna dari setiap jenis gerhana. Gerhana Bulan Total dimaknai sebagai pertanda kegelapan zaman, saat manusia alpa pada asal-usul hidupnya. Gerhana Bulan Sebagian melambangkan ketidakseimbangan antara lahir dan batin, sementara Gerhana Bulan Penumbra menjadi isyarat halus agar manusia waspada terhadap persoalan hidup yang mungkin datang.
Dalam laku budaya, masyarakat Jawa kerap menyambut gerhana dengan doa, tapa brata, maupun tirakat. Sesaji atau wilujengan yang digelar bukan semata berupa hidangan, melainkan simbol doa keselamatan bagi seluruh alam semesta.
Tokoh masyarakat Jawa, Purwadi, mengatakan, pentingnya memaknai gerhana dengan bijak. “Gerhana bagi orang Jawa bukanlah pertanda buruk, melainkan pangeling atau pengingat. Leluhur kita selalu mengajarkan, saat rembulan tertutup, manusia sebaiknya mendekatkan diri pada Gusti, karena kegelapan itu hanya bersifat sementara, cahaya pasti akan kembali,” tuturnya.
Dari nasehat inilah lahir keyakinan bahwa setiap kegelapan akan berakhir dengan cahaya. Pesannya terang: gerhana adalah momentum untuk memperdalam kesadaran spiritual, menjaga keseimbangan hidup, dan senantiasa kembali kepada Gusti Kang Murbeng Dumadi, yang berarti Tuhan yang mengatur segala kejadian atau Penentu nasib semua makhluk. Sebutan ini digunakan untuk merujuk kepada Tuhan atau Yang Maha Kuasa, atas seluruh ciptaan dan kejadian di alam semesta.
Kini, seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, masyarakat memiliki pemahaman ilmiah mengenai gerhana. Namun, tradisi lama tidak sepenuhnya ditinggalkan. Banyak masyarakat Jawa tetap menjaga laku budaya ini sebagai warisan luhur, bukan sekadar mitos, tetapi simbol kebersamaan dan penghormatan pada kearifan lokal (*)