Redaksi.co, Jakarta, 17/10/25 | Sebuah film dokumenter berjudul “Palm Oil in the Land of Orangutans” menghadirkan sudut pandang baru tentang hubungan antara perkebunan kelapa sawit dan keberlangsungan satwa liar. Diputar dalam acara diskusi publik yang digelar oleh Indonesia Palm Oil Strategic Studies (IPOSS) di kawasan Gatot Subroto , film ini menantang persepsi lama bahwa sawit selalu identik dengan perusakan habitat.
Ketua Pengurus IPOSS, Nanang Hendarsah, menyebut film ini sebagai cara membangun perspektif yang lebih berimbang di tengah maraknya isu negatif tentang sawit.
“Film ini unik karena menunjukkan bagaimana biodiversitas ternyata bisa hidup berdampingan di tengah kebun kelapa sawit,” ujar Nanang dalam sambutannya.
Acara yang juga dihadiri Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri, Heru Hartanto Subolo, serta Dewan Pengawas IPOSS — Darmin Nasution, Sofyan A. Djalil, dan Yuri Octavian Thamrin — ini menjadi ajang dialog terbuka antara kalangan akademisi, praktisi lingkungan, dan pelaku industri sawit.
Harmoni di Tengah Kebun Sawit
Film garapan Copenhagen Film Company, Denmark, ini menyoroti hasil penelitian delapan tahun (2015–2023) yang dilakukan Copenhagen Zoo dan United Plantation di kawasan Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.
Mereka membangun “hutan koridor” seluas 318 hektare yang menghubungkan area kebun sawit dengan hutan lindung di sekitar Taman Nasional Tanjung Puting.
Hasilnya cukup mencengangkan: orangutan yang direhabilitasi tidak hanya mampu bertahan hidup di area itu, tetapi juga berkembang biak. Selain orangutan, berbagai spesies burung, ular, dan serangga juga ditemukan hidup normal di sekitar area tersebut.
Simon Bruslund, Director of Global Development Copenhagen Zoo, menyebut hutan koridor itu ibarat “jalan tol” bagi satwa liar.
“Koridor ini memungkinkan satwa berpindah dengan aman dari kebun sawit ke hutan lindung, menjaga keseimbangan ekosistem,” ujarnya.
Menjaga Keseimbangan Ekologi dan Ekonomi
Dalam sesi diskusi, Carl Traeholt, Manager International Project Development Copenhagen Zoo, menegaskan bahwa tanggung jawab menjaga keberlanjutan sawit bukan hanya di tangan produsen.
“Dari produsen, konsumen, hingga masyarakat umum, semuanya punya peran dalam memastikan sawit yang berkelanjutan,” katanya.
Carl juga menyoroti pentingnya penerapan adaptive management dalam pengelolaan spesies, air, dan populasi.
“Tanpa pengelolaan adaptif, keseimbangan ekosistem bisa runtuh,” tegasnya.
Sementara itu, pakar kehutanan Petrus Gunarso menekankan perlunya pembaruan data dan pengawasan rutin pada kawasan hutan. Ia juga mengingatkan agar perhatian terhadap satwa kunci seperti orangutan dan harimau tidak hanya jadi jargon.
“Isu lingkungan seharusnya dibicarakan dengan data dan empati, bukan sekadar opini,” ujarnya.
Diplomasi Hijau Indonesia
Kegiatan ini dinilai strategis karena menunjukkan keterbukaan Indonesia dalam membicarakan sawit secara ilmiah dan berimbang. Selain menjadi sarana edukasi publik, acara ini juga memperkuat kerja sama diplomasi hijau antara Indonesia dan Denmark melalui dukungan KBRI Kopenhagen dan Copenhagen Zoo.
Dengan pesan bahwa sawit dan alam tidak harus saling meniadakan, film “Palm Oil in the Land of Orangutans” mengajak publik untuk melihat isu sawit dengan kacamata baru: bahwa keberlanjutan bukan sekadar slogan, melainkan hasil dari komitmen, riset, dan kolaborasi lintas negara.