Redaksi.co, Jakarta | Aliansi Anak Kepri menyuarakan peringatan keras atas maraknya pembukaan dan rencana perluasan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau. Koordinator Wilayah Melayu Raya Kabupaten Lingga, Zuhardi, menilai kebijakan tersebut berpotensi memperdalam kemiskinan, merusak lingkungan, dan mengabaikan hak masyarakat lokal.
Pernyataan itu disampaikan Zuhardi kepada awak media di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI, Kamis (18/12/2025). Ia mengatakan, kedatangannya ke Jakarta bukan untuk menolak investasi, melainkan mempertanyakan arah pembangunan yang dinilai tidak berpihak pada rakyat.
“Kepulauan Riau bukan daerah perkebunan sawit. Kami wilayah kepulauan. Tapi hari ini hutan kami dilepas ribuan hektare, sementara masyarakat Lingga tetap tercatat sebagai yang termiskin di provinsi,” ujar Zuhardi.
Ia mengungkapkan, di Kecamatan Lingga Utara saat ini telah dibuka perkebunan sawit seluas belasan ribu hektare. Lebih jauh, terdapat rencana pelepasan kawasan hutan di Kecamatan Singkep Barat dan Singkep Selatan dengan luasan hampir 23.000 hektare yang diduga melibatkan PT CSA dan PT SSP.
Zuhardi menilai pelepasan kawasan hutan tersebut dilakukan tanpa perhitungan dampak jangka panjang terhadap lingkungan hidup dan ekonomi masyarakat.
“Kami tidak alergi terhadap investasi. Tapi jangan menjadikan Lingga sebagai korban. Jangan ulangi kerusakan yang terjadi di Sumatera dan Aceh,” ungkapnya.
Ia membeberkan temuan di lapangan bahwa masyarakat melepas lahan dengan harga yang sangat rendah. Satu surat lahan seluas dua hektare, kata dia, hanya dihargai sekitar Rp5 juta.
“Tanah habis, uang habis. Setelah itu apa? Ini bukan kesejahteraan, ini pemiskinan yang dilegalkan,” ujarnya.
Selain soal lahan, Zuhardi juga menyoroti minimnya manfaat ekonomi dari kehadiran perkebunan sawit. Klaim penyerapan tenaga kerja disebut tidak sebanding dengan realita di lapangan.
“Tenaga kerja lokal minim, upah rendah, pengawasan lemah. Banyak yang justru datang dari luar daerah, bahkan ada yang akhirnya terlantar,” katanya.
Zuhardi mengkritik sikap DPRD dan pemerintah daerah yang dinilainya tidak maksimal menjalankan fungsi pengawasan. Setiap kali persoalan sawit dipertanyakan, ia menyebut selalu dijawab sebagai keputusan pemerintah pusat.
“Kalau semua dilempar ke pusat, lalu untuk apa pemerintah daerah dan DPRD?” ujarnya.
Ironisnya, lanjut Zuhardi, saat ia mendatangi KLHK, justru diperoleh penjelasan bahwa proses perizinan seharusnya berawal dari usulan daerah dan melalui tahapan ketat.
“Di sinilah letak persoalannya. Ada yang tidak sinkron. Dan ini harus dibuka ke publik,” katanya.
Zuhardi secara terbuka mendesak Presiden RI Prabowo Subianto, Menteri Dalam Negeri, Menteri ATR/BPN, serta KLHK untuk turun langsung ke Kabupaten Lingga dan mengevaluasi kebijakan perkebunan sawit di Kepulauan Riau.
“Indonesia Emas jangan dibangun dengan menggunduli hutan dan mengorbankan rakyat kecil,” tegasnya.
Ia juga mempertanyakan legalitas sejumlah perusahaan sawit di Lingga Utara yang disebut belum mengantongi Hak Guna Usaha (HGU), namun telah beroperasi dan membatasi akses masyarakat.
“Kalau izinnya belum lengkap, kenapa sudah berani melarang rakyat masuk ke tanahnya sendiri?” ujarnya.
Zuhardi mengaku telah menyampaikan pengaduan ke Kapolri, KPK, Istana Negara, serta mengirimkan surat kepada Presiden RI. Ia meminta pemerintah pusat tidak hanya berpatokan pada laporan administratif.
“Jangan dengar pejabat. Turun ke lapangan, lihat langsung bagaimana rakyat hidup hari ini,” katanya.
Menutup pernyataannya, Zuhardi menegaskan perjuangannya murni membawa suara masyarakat Lingga.
“Kami tidak menuntut muluk-muluk. Kami hanya ingin hutan dijaga dan rakyat tidak dikorbankan atas nama investasi,” pungkasnya.







