JEMBER – redaksi.co Program Gus’e Menyapa di Lapangan Desa Gunungsari, Kecamatan Umbulsari, Kabupaten Jember, menjelma menjadi ruang kebangsaan yang hangat dan inklusif. Dalam rangkaian Apel Shalawat Kebangsaan, toleransi lintas iman tidak hanya digaungkan, tetapi benar-benar dipraktikkan dengan perempuan tampil sebagai aktor utamanya.
Di sisi panggung, deretan emak-emak nonmuslim duduk rapi mengikuti seluruh rangkaian acara hingga tuntas. Tanpa hijab dan tanpa simbol mayoritas, mereka hadir dengan tenang dan penuh rasa ingin tahu. Kehadiran mereka bukan sekadar pelengkap, melainkan pesan kuat bahwa ruang publik di Jember terbuka dan aman bagi semua warga, apa pun latar keyakinannya.
Mereka berbaur dengan peserta lain yang mayoritas muslim. Senyum, sapa, dan kebersamaan terjalin tanpa rasa canggung. Di titik inilah toleransi menjelma menjadi pengalaman hidup, bukan sekadar wacana. Perempuan, dengan naluri merawat dan membuka ruang dialog, tampil sebagai jembatan alami antariman.
Tausiyah yang disampaikan KH Badrus Sodiq sebelum kedatangan Bupati Jember Muhammad Fawait turut menegaskan pesan kebhinekaan tersebut. Ia mengurai nilai-nilai Islam yang menjunjung tinggi persaudaraan, keadilan, dan penghormatan terhadap perbedaan. Islam, dalam pandangannya, hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam dan sejalan dengan semangat kebangsaan.
Menariknya, pesan-pesan tersebut disimak dengan penuh perhatian oleh para emak-emak nonmuslim. Tak satu pun beranjak hingga tausiyah berakhir. Momentum ini menegaskan bahwa nilai kemanusiaan dan kebajikan dapat dipahami lintas iman, tanpa perlu menghapus identitas masing-masing.
Anggota DPRD Provinsi Jawa Timur dari Partai Gerindra, Hermin, S.Pd.I, mengungkapkan bahwa kehadiran para perempuan lintas iman tersebut memang disengaja. Mereka tergabung dalam Laskar Srikandi Nusantara (LSN), sebuah komunitas perempuan yang aktif merawat persatuan di tengah keberagaman.
Mayoritas anggota LSN berasal dari wilayah dengan tingkat pluralitas tinggi seperti Sukoreno dan Sidorejo. Selama ini, perempuan di komunitas tersebut memainkan peran penting sebagai penjaga harmoni sosial di tingkat akar rumput.
“Perempuan adalah fondasi toleransi. Dari merekalah nilai saling menghormati diwariskan dalam keluarga dan lingkungan,” ujar Hermin.
Kehadiran Gus Fawait semakin memperkuat pesan inklusivitas. Ia membuka ruang dialog terbuka, memberi kesempatan kepada siapa pun untuk menyampaikan aspirasi tanpa memandang latar belakang agama maupun status sosial. Sesi tanya jawab berlangsung panjang dan cair, menjadikan lapangan desa sebagai ruang demokrasi yang hidup.
Salah satu momen paling menyentuh terjadi ketika seorang emak-emak menyampaikan persoalan pribadi dengan jujur. Respons Gus Fawait yang tegas namun empatik memperlihatkan wajah negara yang hadir secara manusiawi melindungi hak warga tanpa menghakimi.
Apel Shalawat Kebangsaan di Umbulsari hari itu menegaskan satu hal penting: toleransi lintas iman tidak lahir dari pidato panjang, melainkan dari ruang aman yang memungkinkan perempuan dan warga berbeda keyakinan untuk hadir, didengar, dan dihormati.
Dari Umbulsari, pesan itu menggema: ketika perempuan diberi ruang, toleransi menemukan akarnya; ketika perbedaan dirawat, kebhinekaan menjadi kekuatan.
Reporter: Sofyan







