Bogor, Redaksi.co – Pemerintah Kabupaten Bogor melalui Dinas Kesehatan (Dinkes) terus berupaya memperkuat penanggulangan HIV AIDS di Kabupaten Bogor.
Hal ini dilakukan melibatkan dunia usaha, komunitas, akademisi, hingga masyarakat umum demi mencapai target ending AIDS 2030.
Sebab dalam penanggulangan HIV ini, ada hal yang masih menjadi tantangan besar, yaitu stigma dan diskriminasi.
Hal ini diungkapkan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, dr. Fusia Meidiawaty pada Peringatan Hari AIDS Sedunia 2025 tingkat Kabupaten Bogor.
Rabu, (3/12/2025)
Fusia menegaskan bahwa stigma merupakan tantangan terbesar dalam penanggulangan HIV.
Sehingga seluruh tenaga kesehatan dan masyarakat harus memiliki perspektif yang benar, adil, dan manusiawi.
“Mari kita bersama hadapi perubahan, jaga keberlanjutan layanan HIV, dan wujudkan Kabupaten Bogor yang bebas dari stigma, diskriminasi, serta infeksi baru menuju ending AIDS 2030,” kata Fusia dalam keterangannya.
Menurutnya, upaya mengakhiri epidemi AIDS tidak bisa dibebankan pada Dinas Kesehatan saja, tetapi merupakan tanggung jawab bersama pemerintah, dunia usaha, komunitas, akademisi, hingga masyarakat umum.
Ia juga memaparkan kompleksitas tantangan penanggulangan HIV di Kabupaten Bogor yang kini memiliki populasi lebih dari 6,3 juta jiwa, terbesar di Indonesia.
“Dengan wilayah yang sangat luas serta karakter masyarakat yang beragam, risiko penularan HIV menjadi isu strategis yang harus dikelola dengan sangat serius dan terencana,” ujarnya.
Fusia menjelaskan bahwa pola penularan HIV secara epidemiologis telah mengalami pergeseran.
Penularan kini tidak hanya terjadi pada kelompok berisiko tinggi, tetapi juga pada ibu rumah tangga dan anak-anak.
Hal ini membuat upaya deteksi dini harus diperluas hingga ke kelompok-kelompok yang selama ini tidak pernah terpikirkan dapat terdampak.
“Masih banyak ODHIV yang belum terdiagnosis, sebagian karena tidak mengetahui informasi atau tidak memahami gejala awal. Tugas kita bersama untuk memastikan edukasi dan akses pemeriksaan menjangkau seluruh lapisan masyarakat,” katanya.
Selain itu, ia menyoroti adanya ODHIV yang putus berobat atau tidak teratur dalam mengonsumsi ARV.
Untuk itu, ia menyampaikan beberapa instruksi penting, khususnya kepada seluruh fasilitas pelayanan kesehatan.
Menjamin ketersediaan layanan tes HIV, konseling, serta pengobatan ARV secara terus-menerus, mudah diakses, setara, dan tanpa diskriminasi.
Memberikan pelayanan yang ramah, penuh empati, dan menghargai, sehingga masyarakat merasa aman dan tidak takut untuk datang ke pelayanan kesehatan.
“Mengintegrasikan layanan HIV dengan program TB, IMS, kesehatan reproduksi, dan layanan ibu hamil, serta memperkuat jejaring rujukan lintas sektor. Menghentikan stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV, karena HIV bukan penyakit yang menular melalui kontak biasa,” pungkasnya.
(Okta)







