Jakarta, – Redaksi.co, Pertanyaan besar: sampai kapan rakyat harus dipaksa membayar untuk selembar plastik bernama SIM, secarik kertas bernama STNK, dan plat tipis bernama TNKB? Semua itu nilainya tak seberapa, tapi tiap tahun atau lima tahun sekali selalu jadi ladang pungutan.
Anggota Komisi III DPR RI, Sarifuddin Sudding, akhirnya bersuara lantang. Ia menegaskan bahwa SIM, STNK, dan TNKB seharusnya berlaku seumur hidup, sama seperti KTP.
“Sudah cukup rakyat dibebani biaya yang hanya menguntungkan vendor. SIM dan STNK itu ukurannya kecil, tapi biayanya luar biasa. Dan semua itu ditimpakan kepada masyarakat. Untuk apa perpanjangan terus-menerus kalau hanya menambah beban rakyat?” ujar Sudding.
Pernyataan ini menampar logika kebijakan yang selama ini berjalan. Bukankah tujuan negara adalah melindungi rakyat, bukan merampas isi kantongnya dengan cara legal? Setiap perpanjangan adalah bentuk penghisapan. Rakyat tidak mendapatkan manfaat nyata, hanya dipaksa membayar demi kelancaran mesin birokrasi.
Kita harus bertanya keras: negara ini berpihak pada siapa? Pada rakyat atau pada vendor yang kenyang dari pungutan berulang?
Usulan agar SIM, STNK, dan TNKB berlaku seumur hidup bukan sekadar ide, melainkan panggilan moral. Ini jeritan rakyat yang sudah letih. Jangan jadikan rakyat sapi perah. Jangan lagi lindungi kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir orang.
Sudah saatnya negara hadir dengan keberanian politik: hentikan pungutan sia-sia, terapkan SIM, STNK, dan TNKB seumur hidup. Itu baru namanya keberpihakan!
PPWI-OI