Redaksi.co, Prabumulih – Ramadan selalu membawa kenangan yang tak tergantikan. Bagi sebagian orang, momen berbuka puasa hanyalah rutinitas, tetapi bagi kami, itu adalah pengingat akan kasih sayang yang dulu menyatukan keluarga. Kini, setelah kepergian Ayah, H. Samiun (Almarhum), tradisi itu tetap hidup, meski tanpa sosoknya yang selalu hadir di meja makan.
Di rumah lama kami di Komperta, Jalan Duku, Kota Prabumulih setiap azan Magrib adalah panggilan untuk berkumpul. Ibu, Hj. Sumini, selalu memastikan hidangan tersaji tepat waktu, sementara Ayah duduk di kursinya dengan senyum hangat. Kini, rumah itu telah ditempati orang lain, tetapi kenangan di dalamnya tetap melekat dalam hati.
Setiap Ramadan, kami—Dodi, anak pertama yang kini tinggal di Palembang; saya sendiri yang menetap di Prabumulih; Acik, anak ketiga yang berkeluarga di Muba; Tika, anak keempat yang bekerja di Sungai Lilin bersama suami dan anak-anaknya; serta Ayu, si bungsu yang kini tinggal bersama Ibu di Plaju—selalu teringat bagaimana Ayah membuat momen berbuka menjadi istimewa.
“Kalau sudah azan jangan langsung makan kasih jedah sedikit beberapa menit setelah azan magrib” begitu katanya setiap kali kami ingin menyantap hidangan lebih awal. Ayah selalu ingin kebersamaan terjaga, agar tidak ada yang merasa ditinggalkan.
Saat Magrib tiba, Ayah mengambil kurma pertama, menyeruput air putih, lalu memimpin doa. “Puasa ini bukan hanya soal menahan lapar, tapi tentang melatih hati,” katanya suatu kali. Kata-kata itu terngiang hingga kini, menjadi pengingat bahwa Ramadan lebih dari sekadar ritual.
Setelah berbuka, tawa dan cerita mengalir begitu saja. Acik selalu punya lelucon yang membuat kami terbahak, sementara Tika sibuk membantu Ibu merapikan meja. Ayu, yang paling kecil, selalu mendapat perhatian lebih dari Ayah.
Setelah Ayah berpulang, rumah itu perlahan kehilangan riuhnya. Masa jabatan Ayah berakhir, dan rumah di Komperta bukan lagi milik kami. Kini, Ibu dan Ayu tinggal di rumah Plaju, sementara kami yang lain berusaha pulang setiap Ramadan untuk merasakan kembali hangatnya kebersamaan.
Dodi, sebagai anak sulung, sering mengenang bagaimana Ayah mengajarkan disiplin dalam beribadah. “Ayah selalu mengingatkan kalau puasa itu bukan cuma soal menahan lapar, tapi juga soal menjaga hati dari amarah,” katanya.
Sementara itu, Tika mengaku masih terbiasa mencicipi masakan sebelum berbuka, kebiasaan yang dulu selalu ia lakukan bersama Ibu. “Setiap mencicipi makanan, aku selalu ingat suara Ayah yang bilang, ‘Jangan habiskan dulu, itu untuk berbuka’,” ujarnya sambil tersenyum.
Di rumah baru, suasana memang berbeda. Tidak ada lagi meja makan tempat Ayah biasa duduk, tidak ada lagi suara langkahnya menuju masjid untuk tarawih. Namun, tradisi yang ia wariskan tetap kami jalankan.
Menjelang Idulfitri, rindu itu semakin dalam. Biasanya, pagi Lebaran diawali dengan Ayah mengenakan baju koko putihnya, lalu berangkat ke masjid bersama anak-anak laki-lakinya. Sepulangnya, ia akan duduk di ruang tamu, menunggu kami satu per satu menghampiri untuk meminta maaf.
Ramadan bukan hanya tentang menahan haus dan lapar, tetapi juga tentang menjaga warisan cinta. Ayah mungkin telah pergi, tetapi nilai-nilai yang ia tanamkan tetap tumbuh dalam diri kami.
Kini, setiap kali kami berbuka puasa, kami tahu bahwa di balik setiap suapan makanan, di balik setiap tegukan air putih, ada kenangan yang terus menghidupkan sosoknya. Ayah tidak benar-benar pergi—ia selalu ada dalam doa-doa kami, dalam kebersamaan yang tetap kami jaga, dan dalam hati yang tak akan pernah melupakan kasih sayangnya.
Tahun-tahun berlalu, tetapi momen itu masih membekas. Kini, meski tanpa kehadiran Ayah, kami tetap menjaga tradisi. Setiap Ramadan, kami berusaha untuk berkumpul, meski hanya sebentar. Kami ingin memastikan bahwa nilai-nilai yang Ayah ajarkan tetap terjaga, bahwa meski rumah telah berpindah, cinta dan kebersamaan tidak akan hilang.
Ramadan bukan hanya tentang berbuka bersama, tetapi tentang mengenang dan meneruskan nilai-nilai yang telah ditanamkan. Ayah mungkin telah tiada, tetapi kasih sayangnya tetap ada dalam doa-doa kami.
Setiap kali kami duduk di meja makan, kami tahu bahwa ia masih bersama kami—dalam setiap suapan makanan, dalam setiap gelak tawa, dalam setiap doa yang kami panjatkan. Ramadan tanpa Ayah memang tak lagi sama, tetapi cinta yang ia tinggalkan akan selalu abadi.
Baca Juga: Pulang dari Retreat, Wali Kota H. Arlan Bawa Semangat Baru untuk Prabumulih