Tual.Redaksi.co-Pernyataan Direktur Politeknik Perikanan Negeri Tual (Polikant), Jusron Ali Rahayaan, yang dimuat dalam media online Suara Damai pada 14 September 2025 dengan menyebut bahwa pihak yang melayangkan surat keberatan atas proses pemilihan Direktur “tidak memiliki kewenangan, bahkan untuk mengawasi sekalipun”, adalah sebuah bentuk arogansi kekuasaan dan pengingkaran terhadap hakikat lembaga akademik.
Pernyataan tersebut jelas menyesatkan dan menunjukkan bahwa Direktur sedang mabuk kuasa. Ia lupa atau pura-pura lupa, bahwa perguruan tinggi adalah rumah bagi kebebasan mimbar akademik, tempat di mana setiap insan akademik maupun masyarakat memiliki hak dan tanggung jawab moral untuk mengawal integritas proses yang berlangsung di dalamnya.
Lebih jauh, pernyataan itu mengabaikan fakta penting: Ketua Panitia Pemilihan Direktur Polikant sendiri pada 19 Juli 2025 di media yang sama secara terbuka meminta dukungan civitas akademika dan masyarakat untuk mengawal dan mengawasi proses pemilihan.
Permintaan itu bukanlah basa-basi, melainkan sebuah mandat moral. Oleh sebab itu, apa yang dilakukan oleh organisasi masyarakat maupun civitas akademika dalam melayangkan surat keberatan adalah langkah sah, legal, dan justru sejalan dengan semangat transparansi.
Kami menegaskan bahwa dalam pengawalan tersebut telah ditemukan adanya indikasi kuat pelanggaran aturan dan praktik abuse of power.
Kajian kritis dari civitas akademika telah disampaikan ke Satuan Pengawasan Internal (SPI) Polikant, dan laporan resmi sudah diteruskan sampai ke Inspektorat Jenderal Dikti. Alih-alih mendapat apresiasi, Ketua SPI yang menjalankan tugasnya justru diberhentikan dari jabatannya.
Ini adalah ironi yang memperlihatkan bagaimana kekuasaan digunakan untuk membungkam suara kritis, bukan untuk membenahi penyimpangan.
Kebebasan mimbar akademik tidak boleh dipersempit hanya menjadi slogan kosong.
Kami menolak keras segala bentuk upaya menutup ruang kontrol publik, sebab tanpa pengawasan independen, demokrasi kampus akan berubah menjadi oligarki kekuasaan.
Direktur Polikant seharusnya menyambut baik setiap bentuk kritik dan pengawasan, bukan menudingnya sebagai tindakan tanpa kewenangan.
Kami mengingatkan: Perguruan tinggi bukanlah kerajaan kecil yang boleh dijalankan sesuka hati oleh seorang direktur.
Ia adalah institusi publik, dibangun dengan uang rakyat, dan karenanya wajib tunduk pada prinsip akuntabilitas, transparansi, serta penghormatan terhadap kebebasan akademik.
Sungguh mengherankan jika seorang Direktur justru merasa terganggu oleh suara kritis yang sejatinya adalah vitamin bagi demokrasi kampus.
Pernyataan Jusron Ali Rahayaan bukan hanya melukai civitas akademika, melainkan juga merendahkan martabat perguruan tinggi di hadapan publik.
Oleh karena itu, kami menyerukan kepada seluruh civitas akademika, masyarakat sipil, serta pemangku kepentingan untuk tidak diam.
Demokrasi kampus hanya bisa hidup jika kita berani melawan arogansi kekuasaan. Kami tegaskan kembali: Kebebasan mimbar akademik adalah harga mati, dan tidak ada seorang pun—termasuk Direktur—yang boleh menginjak-injaknya.