PURWOREJO, BAYAN || Redaksi.co – Krisis air yang telah melanda sawah di Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo dan sekitarnya selama lebih dari 15 tahun kembali mengemuka. Ribuan hektare lahan sawah di wilayah hilir Daerah Irigasi (DI) Kragilan tak lagi terairi, memaksa petani beralih ke tanaman palawija dan hanya mengandalkan tadah hujan. Senin 6/10/2025.
Persoalan ini menjadi sorotan utama dalam Dialog Saluran Irigasi/Pertanian Daerah Irigasi Kragilan yang digelar di Pendopo Hasnu Hasanah Nusantara, Desa Sambeng, Kecamatan Bayan, pada Minggu (05/10/2025) malam.
Kekeringan yang membelit petani Bayan terungkap disebabkan oleh praktik ilegal. Anggota DPRD Kabupaten Purworejo, Rudi Hartono, setelah melakukan pengecekan lapangan, menemukan fakta mengejutkan.
“Permasalahan utama hanya satu: air tidak sampai ke Bayan karena banyaknya kebocoran saluran pipa tak resmi,” tegas Rudi Hartono.
Ia menyebut ada sekitar 70 titik pipa liar yang menyedot aliran air DI Kragilan, bahkan salah satunya berdiameter enam inci, yang diduga kuat menjadi penyebab utama hilangnya pasokan ke wilayah hilir.
“Insyaallah, persoalan ini akan kami dorong sampai ke provinsi, bahkan Gubernur,” janji Rudi.
Harapan Bangkit dan Langkah Konkret
Kondisi tersebut telah memukul kehidupan petani secara langsung.
“Selama 15 tahun kami bertani tanpa air. Dulu bisa panen padi dua kali setahun, sekarang hanya palawija, hasil pun jauh berkurang,” keluh Usman Setiawan, perwakilan BPD Jrakah.
Beberapa kepala desa bahkan mengungkapkan dampak yang meluas, seperti sumur warga yang ikut mengering dan lahan sawah yang terpaksa dialihfungsikan menjadi perumahan bersubsidi karena unsur pembiaran selama belasan tahun.
Sementara itu, Kepala Desa Sambeng menyindir ketahanan pangan mustahil terwujud tanpa solusi irigasi, seraya menyatakan desa mereka merasa “dianaktirikan” dibanding wilayah DI Ngloning.
Menanggapi keluhan ini, Muhaimin dari Fraksi PKB, anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah, berjanji akan memperjuangkan aspirasi ini.
“Ini soal hajat hidup orang banyak. Kami akan perjuangkan semaksimal mungkin dan pertemukan perwakilan warga duduk satu meja dengan Pimpinan Komisi D, Kepala Pusdataru, dan Kepala BPSDA Probolo agar ada solusi terbaik dan tercepat,” ujar Muhaimin.
Langkah konkret pun segera diambil. Ketua Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) Bayan, Ismail, menegaskan bahwa mulai 6 Oktober 2025, pihaknya bersama warga akan bergerak menutup 50 titik pipa liar.
“Harapannya, musim kemarau mendatang sawah Bayan bisa kembali terairi. Ini perjuangan bersama,” katanya penuh harap.
Dari sisi teknis, perwakilan komunitas Probolo Kutoarjo, Bowo Sulistiyo, menyampaikan bahwa uji coba aliran air akan segera dilakukan.
“Paling cepat dua minggu lagi setelah penutupan pipa liar. Jika berhasil, air diharapkan bisa kembali mengalir ke Bayan,” jelasnya.
Dialog ini menegaskan bahwa persoalan air di Bayan bukan sekadar masalah teknis, melainkan menyangkut ketahanan pangan, keadilan pembangunan, dan keberlangsungan hidup petani. Air adalah hak dasar masyarakat, dan membiarkan ribuan hektare sawah kering selama lebih dari 15 tahun merupakan bentuk ketidakadilan struktural yang harus segera diselesaikan. (WS)