Pontianak 14 September 2025 Kalimantan Barat Persidangan kasus dugaan penipuan dan penggelapan dana umroh yang menyeret travel Ihyatour kembali digelar. Namun, fakta-fakta yang terungkap justru memperlihatkan bahwa tuduhan yang dialamatkan kepada manajemen travel ini tidak berdasar. Bukannya tindak pidana, perkara ini terang-benderang lebih tepat disebut sebagai sengketa perdata (wanprestasi).
Pembatalan Keberangkatan Ary Wibowo
Dalam sidang terungkap, pelapor Ary Wibowo beserta enam anggota keluarganya membatalkan keberangkatan umroh hanya 14 hari sebelum jadwal. Padahal, sesuai akad perjanjian yang ditandatangani, calon jemaah tidak diperkenankan membatalkan di tenggat waktu tersebut.
Apabila tetap melakukan pembatalan, maka konsekuensinya jelas: dikenakan biaya pembatalan (cancel fee) hingga 90 persen dari total setoran. Hal ini sudah menjadi standar dalam dunia perjalanan umroh.
Namun, pihak Ihyatour tidak kaku. Manajemen justru memberikan keringanan dengan hanya membebankan biaya pembatalan Rp3,5 juta ditambah penggantian nama jemaah lain. Kendati demikian, hingga saat ini Ary Wibowo belum mengembalikan surat pengunduran diri yang sudah dibuatkan untuk di tanda tangani dan diserahkan melalui pengacara pun tidak pernah dikembalikan ke ihyatour.
32 Jemaah Lain Tetap Berangkat
Fakta penting lainnya adalah rombongan jemaah lain yang berjumlah 32 orang tetap berangkat ke Tanah Suci dan pulang dengan selamat. Dari jumlah itu, bahkan terdapat 10 orang yang masih satu kelompok pengajian dengan pelapor. Fakta ini membuktikan bahwa penyelenggaraan perjalanan umroh oleh Ihyatour berjalan normal, aman, dan sesuai akad.
Kuasa hukum terdakwa menegaskan, tidak ada alasan menyebut travel melakukan penipuan atau penggelapan dana. “Kalau 32 jemaah bisa berangkat dan kembali sesuai jadwal, bagaimana mungkin disebut penipuan hanya karena ada 6 orang yang mundur sepihak?” tegasnya.
Tuduhan Mempermainkan Jemaah Terbantahkan
Dalam persidangan juga dibahas soal tuduhan bahwa Ihyatour mempersulit jemaah. Tuduhan ini langsung terbantahkan. Pihak travel menjelaskan bahwa paket yang dipilih Ary Wibowo adalah Umroh Mahabbah, yaitu paket dengan jadwal keberangkatan, fasilitas, dan harga yang ditentukan pihak penyelenggara sejak awal.
Ihyatour tidak pernah memaksa siapa pun untuk mendaftar. Semua jemaah menandatangani akad dengan sadar. Bahkan, keselamatan rombongan menjadi prioritas utama, terbukti seluruh jemaah yang berangkat kembali ke tanah air dengan selamat.
Keterangan Saksi Ahli Kemenag
Kesaksian dari ahli Kementerian Agama (Kemenag) memperkuat fakta bahwa kasus ini masuk ranah perdata. Ahli menjelaskan, setiap perjalanan umroh melalui travel selalu didasarkan pada perjanjian (akad) antara jemaah dan penyelenggara. Bila salah satu pihak tidak memenuhi akad, maka hal itu disebut wanprestasi.
“Wanprestasi adalah persoalan perdata, bukan pidana. Jadi kalau ada pembatalan sepihak, seharusnya penyelesaiannya melalui jalur perdata,” demikian keterangan saksi ahli di persidangan.
Lebih jauh, pelapor dan istrinya juga mengakui di hadapan majelis hakim bahwa mereka bukan tidak diberangkatkan, melainkan mengundurkan diri. Pengakuan ini memperkuat bahwa tuduhan penipuan tidak relevan dengan fakta.
Harapan Terhadap Jaksa Penuntut Umum
Sidang berikutnya yang dijadwalkan Senin mendatang menjadi momen penting. Publik menunggu apakah Jaksa Penuntut Umum (JPU) berani bersikap objektif berdasarkan fakta persidangan.
Penasihat hukum terdakwa mengingatkan, sesuai Pedoman Jaksa Agung Nomor 24 Tahun 2021 (vrijspraak), jaksa memiliki kewajiban untuk menuntut bebas bila sebuah perkara jelas-jelas tidak terbukti sebagai tindak pidana.
“Jaksa jangan hanya melihat enam orang yang mundur, tetapi juga harus melihat 32 jemaah lain yang berangkat dengan selamat. Fakta di persidangan sudah jelas, tidak ada penipuan. Kalau dipaksakan pidana, ini sama saja kriminalisasi,” tegas kuasa hukum.
Publik Diminta Mengawasi
Kasus Ihyatour kini menjadi sorotan, bukan hanya soal enam jemaah yang membatalkan keberangkatan, tetapi juga soal integritas hukum di Indonesia. Publik diminta ikut mengawasi jalannya persidangan agar hukum tidak diselewengkan untuk mengkriminalisasi persoalan perdata.
“Jika kasus perdata dipaksa menjadi pidana, maka siapa pun bisa jadi korban berikutnya. Ini bukan hanya soal Ihyatour, tapi soal masa depan keadilan di negeri ini,” pungkas penasihat hukum.
Tim : Redaksi