DPD Rumah Hukum Indonesia dalam memberikan Penyuluhan serta Edukasi Hukum Terhadap Masyarakat Secara Luas
Di banyak wilayah, masyarakat sering menjadi korban ketidakadilan hukum ketika berhadapan dengan perusahaan besar. Tidak sedikit kasus di mana perusahaan melapor ke polisi atas tuduhan penyerobotan lahan, sementara lahan yang dimaksud belum memiliki sertifikat HGU atau bukti kepemilikan yang sah. Ironisnya, laporan seperti itu sering kali langsung ditanggapi dengan cepat, bahkan disertai pemanggilan terhadap warga desa sebagai terlapor. Padahal, secara hukum, tindakan penyidik semacam itu tidak seharusnya dilakukan sebelum kejelasan bukti dan status tanah dipastikan terlebih dahulu kepada pihak terkait.
Polisi sejatinya adalah pelindung rakyat, bukan alat kekuasaan bagi perusahaan. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 dengan jelas menyebutkan bahwa tugas utama polisi adalah melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Maka ketika ada aparat yang justru memihak salah satu pihak dan menakut-nakuti rakyat kecil, itu berarti polisi telah melanggar kode etik profesinya sendiri. Tugas polisi adalah mencari kebenaran hukum serta menegakan hukum itu sendiri, bukan membela pihak yang punya kekuatan modal atau hubungan politik.
Hukum acara pidana juga telah mengatur dengan tegas bahwa setiap penyidikan hanya bisa dilakukan jika terdapat cukup bukti permulaan. Pasal 109 ayat (2) KUHAP menegaskan bahwa penyidik wajib menghentikan penyidikan bila tidak terdapat cukup bukti atau perkara tersebut bukan tindak pidana. Oleh karena itu, laporan perusahaan tanpa dasar hukum yang jelas seharusnya tidak dapat dijadikan alasan untuk memanggil atau menekan masyarakat desa. Tanpa sertifikat HGU atau bukti kepemilikan tanah yang sah, klaim perusahaan hanyalah pendapat sepihak, bukan fakta hukum.
Selain itu, perlu dipahami bersama bahwa sengketa tanah bukanlah tindak pidana. Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2016 telah menegaskan bahwa perkara yang berawal dari sengketa tanah atau administrasi pertanahan tidak boleh diproses secara pidana. Artinya, ketika masyarakat dan perusahaan sama-sama mengklaim tanah, persoalan itu harus diselesaikan secara perdata atau melalui lembaga pertanahan seperti BPN, bukan lewat jalur kepolisian. Polisi tidak memiliki kewenangan untuk menentukan siapa pemilik sah tanah tersebut.
Masyarakat berhak mempertanyakan dan menolak pemanggilan yang tidak jelas dasarnya. Jika ada surat panggilan dari polisi, warga sebaiknya menanyakan terlebih dahulu bukti kepemilikan apa yang dimiliki pelapor, apakah tanah tersebut sudah bersertifikat HGU, dan apa dasar hukumnya. Bila tidak ada bukti sah, masyarakat berhak menolak diperlakukan seolah-olah mereka bersalah. Menolak ketidakadilan bukan berarti melawan hukum, justru itulah bentuk nyata dari menjaga marwah hukum yang sebenarnya.
Pembodohan hukum terhadap masyarakat desa harus dihentikan. Kriminalisasi atas nama laporan perusahaan hanyalah cara untuk melemahkan perjuangan rakyat mempertahankan haknya. Karena itu, masyarakat harus bersatu, mencatat setiap kejadian, menyimpan bukti, dan melaporkan setiap penyimpangan aparat kepada Propam, Kompolnas, atau Ombudsman. Tanah tanpa HGU bukan milik perusahaan, melainkan milik rakyat yang telah menggarap dan menjaga tanah itu turun-temurun.
Ketua DPD Rumah Hukum Indonesia, Ahmad Upin Ramadan, Menegaskan, Rakyat bukan penjahat. Rakayat harus berani bersuara unruk kebenaran dalam penegakan hukum, Mereka yang berjuang mempertahankan tanahnya bukan pelanggar hukum, melainkan pejuang keadilan. UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Karena itu, hukum seharusnya berpihak kepada kebenaran dan kemanusiaan, bukan kepada kekuasaan dan uang. Masyarakat harus berani bersuara dan sadar haknya agar tidak lagi dibodohi oleh oknum aparat yang bermain di balik nama lembaga hukum.