Tual,Redaksi.co – Maluku Tenggara | 5 Oktober 2025 – Politeknik Perikanan Negeri Tual (Polikant), salah satu kampus vokasi unggulan di kawasan timur Indonesia, tengah berada di ambang kehancuran. Di balik citra akademik yang mestinya dijaga, tersimpan kisah kelam tentang kepemimpinan penuh skandal yang menyeret nama sang direktur, Jusron Ali Rahayaan, S.Pi., M.Si., yang masa jabatannya berakhir hari ini, 5 Oktober 2025.
Berbagai dugaan penyimpangan keuangan, penyalahgunaan aset negara, dan manipulasi politik internal mencuat dari tubuh kampus yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi itu.
Beberapa laporan internal menyebut, sang direktur kerap mencairkan dana perjalanan dinas fiktif—dana SPPD yang dikeluarkan tanpa kegiatan riil, hanya berbekal tanda tangan formalitas. Negara, lagi-lagi, menjadi korban dari praktik yang menyerupai penggelapan uang publik berkedok administrasi.
Tak berhenti di situ, Jusron juga disebut menguasai sejumlah aset kampus untuk kepentingan pribadi. Dari alat musik band mahasiswa, perangkat drone, hingga sisa material pekerjaan proyek lingkungan kampus—semuanya diduga raib tanpa jejak yang jelas.
Sumber internal kampus menyebut tindakan itu sebagai “penjarahan kecil-kecilan yang dibiarkan membesar,” menodai integritas jabatan direktur dan mencederai prinsip pengelolaan barang milik negara.
Lebih mencengangkan lagi, Jusron yang juga menjabat sebagai Ketua Senat Polikant, dituding mempermainkan mekanisme demokrasi kampus.
Rapat senat yang semestinya menentukan arah kepemimpinan baru berubah menjadi panggung politik manipulatif.
Ia berulang kali menjanjikan pelaksanaan pemilihan direktur tahap kedua—mulai 16 September hingga 25 September 2025—namun seluruh jadwal itu berujung pada kebohongan.
“Ia membohongi senat, menunda-nunda agenda dengan alasan yang dibuat-buat. Semua demi memperpanjang kekuasaan pribadi,” ungkap sumber yang enggan disebutkan namanya.
Sikap keras kepala itu membuat dinamika kampus membeku. Proses akademik berjalan di atas ketidakpastian, sementara kepercayaan publik internal kian terkikis.
“Polikant seperti kapal yang kehilangan nakhoda, hanya bergerak oleh arus politik, bukan oleh visi pendidikan,” ujar sumber yang enggan disebutkan namanya.
Di tengah kekacauan ini, desakan publik mulai menguat. Sejumlah civitas akademika dan pemerhati pendidikan menuntut Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi segera turun tangan. Audit forensik atas keuangan dan inventaris kampus dinilai mutlak dilakukan.
“Jika terbukti, harus ada tindakan hukum. Ini bukan sekadar pelanggaran etik, tapi dugaan penyalahgunaan uang dan barang negara,” tegas salah satu aktivis pendidikan Maluku Tenggara.
Kritik keras juga datang dari kalangan mahasiswa. Dalam pernyataan terbuka, mereka menyebut Polikant kini dikuasai oleh “penipu berjas” yang menodai nilai kejujuran dan integritas yang mestinya dijunjung tinggi oleh dunia akademik.
“Bagaimana kami bisa belajar tentang moral dan tanggung jawab publik jika kampus kami sendiri dikelola dengan cara kotor?” ujar seorang mahasiswa tingkat akhir jurusan Teknologi Hasil Perikanan.
Polikant bukan milik seorang direktur, bukan pula alat kekuasaan pribadi. Kampus ini adalah institusi publik yang dibiayai oleh rakyat, dikelola untuk kepentingan bangsa. Bila krisis ini dibiarkan, Polikant berisiko menjadi simbol kehancuran moral dunia pendidikan tinggi negeri di kawasan timur Indonesia.
Kini, seluruh mata tertuju pada kementerian. Publik menunggu: apakah negara berani menegakkan integritas di lembaga pendidikan yang sedang dikhianati oleh pemimpinnya sendiri?