Bekasi, – Redaksi.co, Lagi-lagi jurnalis jadi korban kekerasan! Kali ini, Ambarita—wartawan yang tengah membongkar dugaan peredaran makanan kedaluwarsa di Desa Mangunjaya, Tambun Selatan, Bekasi—dihantam secara brutal pada Jumat (26/9/2025).
Saat menjalankan tugas mulia, Ambarita dikerubuti sekelompok orang, dipojokkan, dipukuli, hingga ponselnya dirampas. Data liputan dan bukti investigasi pun lenyap. Tak hanya kehilangan alat kerja, ia juga babak belur, wajahnya lebam, matanya bengkak, hingga harus mendapat perawatan medis.
Apakah ini potret nyata wajah demokrasi kita? Jurnalis dipukul, kebenaran dibungkam, publik dipaksa buta!
Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke, meledak marah. Menurutnya, peristiwa ini bukan sekadar penganiayaan, tapi serangan frontal terhadap kebebasan pers dan hak rakyat atas informasi.
> “Ini kriminal serius! Jurnalis Ambarita menjalankan tugas kontrol sosial, tapi justru dibungkam dengan cara-cara biadab. Perampasan alat kerja dan pengeroyokan seperti ini jelas melanggar hukum, bahkan mencederai demokrasi kita!” tegas Wilson.
Wilson menantang aparat: jangan hanya diam! Polisi wajib segera memburu para pelaku, menyeret mereka ke pengadilan, dan mengembalikan hak-hak Ambarita. Jika aparat lamban, publik bisa membaca sendiri: negara absen, demokrasi dipermainkan.
Padahal, jelas dalam UU Pers No. 40 Tahun 1999: wartawan mendapat perlindungan hukum. Siapa pun yang menghalangi kerja jurnalistik bisa dipidana hingga 2 tahun penjara atau denda Rp500 juta. Belum lagi jeratan KUHP:
Pasal 351 tentang penganiayaan (pidana 5 tahun). Pasal 170 tentang pengeroyokan (pidana 7 tahun).
Pasal 365 tentang perampasan dengan kekerasan (pidana 9 tahun).
Lalu, pertanyaannya: apakah hukum hanya tajam ke rakyat kecil, tapi tumpul saat melindungi jurnalis dan kebenaran?
Wilson menegaskan:
> “PPWI berdiri bersama Ambarita dan semua jurnalis Indonesia. Kekerasan tidak boleh jadi senjata untuk membungkam kebenaran!”
Kasus ini bukan sekadar soal Ambarita. Ini soal nasib demokrasi dan kebebasan pers di negeri ini. Jika dibiarkan, maka yang dipukul bukan hanya jurnalis—tetapi kebenaran, suara rakyat, dan masa depan bangsa.
PPWI