redaksi.co, Jakarta – Satuan Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Metro Jaya kembali mengungkap praktik kejahatan luar biasa. Sebuah jaringan eksploitasi seksual anak di bawah umur yang dikendalikan dari dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Cipinang berhasil dibongkar oleh Subdirektorat Siber, setelah dua pekan melakukan patroli di dunia maya sepanjang Juli 2025.
Pengungkapan ini disampaikan secara resmi dalam konferensi pers yang digelar pada Sabtu, 19 Juli 2025, di Lobby Ditreskrimsus Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan. Dalam kesempatan itu, Kompol Syarif Hidayatullah, S.H., S.I.K., selaku Kasubbid Penmas Polda Metro Jaya, mengungkapkan bahwa salah satu dari tiga kasus kejahatan siber yang dirilis hari ini adalah kejahatan seksual terhadap anak yang dikendalikan langsung dari balik jeruji besi.
“Ini sangat mengkhawatirkan. Korbannya adalah anak-anak perempuan di bawah umur yang dijadikan objek eksploitasi seksual secara daring oleh pelaku yang justru berada di dalam lembaga pemasyarakatan,” ujar Kompol Syarif.
Wakil Direktur Ditreskrimsus Polda Metro Jaya, AKBP Hadis Wibowo, S.I.K., M.H., menjelaskan bahwa kasus ini bermula dari patroli yang dilakukan tim Siber terhadap akun-akun media sosial yang terindikasi memuat aktivitas mencurigakan. Salah satu temuan penting adalah grup “Pretty 1185 Pelajar Jakarta” di platform X, yang ternyata digunakan sebagai sarana transaksi prostitusi anak.
Polisi kemudian menetapkan AM, narapidana Lapas Cipinang, sebagai otak di balik jaringan ini. AM diketahui telah divonis sembilan tahun penjara dalam kasus serupa, dan saat ini baru menjalani enam tahun masa hukumannya. Meski demikian, ia tetap mampu mengatur jalannya bisnis haram dari balik penjara, dengan memanfaatkan perantara dan teknologi digital.
Kompol Bayu Setiawan, S.I.K., Kasubdit II Siber Ditreskrimsus, mengungkapkan bahwa setidaknya dua anak perempuan telah menjadi korban eksploitasi sejak Oktober 2023.
“Korban mengaku telah melayani satu hingga dua pelanggan setiap minggu. Bahkan mereka mengaku sudah tak lagi mampu menghitung berapa kali telah dieksploitasi,” ujar Kompol Bayu.
Modus yang digunakan pun cukup sistematis. Pelaku memanfaatkan platform seperti Facebook untuk mendekati calon korban, lalu mengatur pertemuan dengan pelanggan di hotel-hotel tertentu. Setiap transaksi seksual dihargai Rp1 juta hingga Rp1,5 juta, yang kemudian dibagi dua. Korban menerima separuhnya, sementara sisanya dikirim kepada AM di Lapas melalui perantara yang sudah diatur.
Dalam penyelidikan ini, tim kepolisian menyita sejumlah barang bukti, termasuk ponsel, akun media sosial, serta bukti transaksi keuangan. Polisi juga terus melacak para pelanggan dan pihak-pihak lain yang terlibat, baik dari luar maupun dari dalam lembaga pemasyarakatan.
“Kasus ini belum berakhir. Kami masih memburu semua yang terlibat, termasuk yang menjadi pemesan layanan maupun yang memfasilitasi kegiatan ini dari dalam penjara,” tegas Kompol Bayu.
Kompol Ferizal Fardinanto, S.I.K., dari Subdit I Siber, turut menekankan bahwa kasus ini menjadi peringatan keras tentang bahaya media sosial, khususnya bagi anak-anak. Ia mengingatkan pentingnya pengawasan dari orang tua terhadap aktivitas daring anak-anak mereka.
Hal senada disampaikan kembali oleh Kompol Syarif Hidayatullah. Menurutnya, dalam banyak kasus, pelaku kejahatan seksual terhadap anak justru berasal dari lingkungan terdekat korban.
“Kita harus lebih peka. Internet bisa menjadi ruang eksploitasi yang sangat gelap jika